Laman

Minggu, 30 Januari 2011

Skrining Anemia


1.    Pengertian Skrining
Skrining adalah suatu upaya dalam penemuan penyakit secara aktif pada individu-individu yang tanpa gejala dan nampak sehat dengan cara menguji, memeriksa atau prosedur lain yang dapat dilakukan dengan cepat.  Skrining  bukan suatu penetapan diagnosis, subyek-subyek yang diketemukan positif atau kemungkinan mengidap suatu penyakit tertentu, perlu dirujuk kembali untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Sutrisno, 1994).
Skrining dilaksanakan untuk mengetahui besarnya kejadian penyakit tertentu di masyarakat.  Skrining dapat dikelompokkan menjadi 4 macam (Beaglehole,dkk, 1997), yaitu :
a.   Mass Screening atau penjaringan massal yaitu skrining yang dilakukan pada seluruh anggota populasi.
a.    Multiple screening atau penjaringan multiphasik yaitu skrining ganda yang dilakukan dengan melibatkan berbagai alat uji pada saat yang bersamaan.
b.    Prescritive Screening yaitu skrining yang dilakukan terbats pada para penderita yang berkonsultasi kepada seorang praktis kesehatan untuk beberapa tujuan tertentu.
c.    Oportunistik Screening yaitu skrining yang dilakukan terbatas pada para penderita yang berkonsultasi kepada seorang praktisi kesehatan untuk beberapa tujuan
2.    Kriteria Skrining
Dalam kegiatan skrining , 10 ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
a.    Penyakit atau keadaan yang dicari haruslah merupakan masalah kesehatan yang penting.
b.    Tersedia obat yang potensial dan disepakati untuk pengobatan.
c.    Tersedia fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti dan pengobatan.
d.    Penyakit atau keadaan yang dideteksi harus mempunyai masa laten atau masa asymtomatik dini.
e.    Tersedia alat skrining yang sesuai.
f.     Uji skrining yang tersedia harus dapat diterima oleh populasi sasaran.
g.    Perjalanan alamiah penyakit atau keadaan yang akan dideteksi benar-benar harus sudah diketahui.
h.    Harus ada kebijakan yang disepakati tentang siapa dari mereka yang diobati sebagai penderita.
i.      Biaya yang digunakan untuk skrining secara ekonomis harus seimbang dengan risiko untuk perawatan medis secara keseluruhan.
j.      Harus dimungkinkan untuk diadakan follow-up dan kemungkinan untuk pencarian penemuan penderita secara berkesinambungan.
3.    Test Skrining
Sebelum suatu cara uji skrining direkomendasikan sebagai alat skrining/penapisan untuk membantu menjaring penderita, maka alat uji ini sebaiknya melalui suatu test validitas dan realibilitas terlebih dahulu.  Setelah diketahui kemampuannya membedakan antar yang sakit dengan yang sehat, barulah cara penapisan ini dapat dipertimbangkan.  Cara yang paling umum dipergunakan dengan menggunakan tabel 2 x 2, dibandingkan dengan diagnosa standar (gold standard).  Tabel 2 x 2 yang akan digunakan untuk uji ini sebagai berikut :          
Tabel 2 x 2 Uji Validitas

Gold Standar
Gejala Klinis
Positif
Negatif
Total
Positif
A
b
a + b
Negatif
C
d
c + d
Total
a + c
b + d
a + b + c + d

Uji validitas yang akan dilakukan :
a.    Sensitivitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil positif apabila suatu  cara uji dilakukan terhadap penderita yang berpenyakit     = a / (a + c) x 100%.
a.    Spesifitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil negatif apabila cara uji  tersebut dilakukan orang yang tidak sakit = d / (b + d) x 100%.
b.    Nilai Duga Positif (positive predictive value) yaitu kemampuan mendeteksi yang benar-benar menderita suatu penyakit dari semua hasil uji skrining positif = a / (a + b) x 100%.
c.    Nilai Duga Negatif (negative predictive value) yaitu kemampuan untuk mendeteksi yang benar-benar tidak sakit dari semua hasil skrining yang negatif = d / (c+d) x 100%.
Uji Reliabilitas yang akan dilakukan
a.    Percent Observed Agreement yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan yang dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati = {(a + b) / total test} x 100%.
b. Percent Agreement Expexted yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan yang dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati
 =  { %D ( + ) x Total Test ( + ) } +  { %D ( - ) x Total Test ( - ) }
                                                                        100

4.    Tes untuk skrining anemia

Secara klinis, anemia bisa didiagnosis dengan mudah bila derajat anemianya sudah berat. Untuk mendeteksi secara dini anemia, saat derajat anemianya masih ringan, diagnosis klinis akan menjadi kurang reliable karena biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya kulit yang tebal atau pigmentasi. Untuk itu, perlu pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar Hb atau Hematokrit. Pemeriksaan ini berguna selain untuk konfirmasi diagnosis, juga dapat menentukan derajat berat-ringannya anemia. Pemeriksaan kadar Hb atau Hematokrit bisa digunakan untuk skrining anemia pada kelompok berisiko tinggi menderita anemia, seperti ibu hamil dan anak-anak; juga bermanfaat untuk menentukan prevalensi dan beban masalah anemia pada populasi.
Tes yang dapat dipercaya untuk mengukur kadar Hemoglobin adalah tes-tes yang dapat  mengkonversi Hb menjadi salah satu dari komponennya. Kadar komponen itu yang kemudian ditentukan dengan mencocokkan warna standar dalam fotometer atau dengan mengukur absorbsi komponen-komponen itu dalam spektrofotometer. Tiga teknik yang biasa dipakai adalah dengan cara mengukur komponen cyanmethemoglobin (Hb CN), oxyhemoglobin (HbO2) dan metode alkalin hematin. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan PRC/Hematokrit (Packed Red Cell). Keuntungan cara ini adalah tekniknya lebih sederhana utamanya jika jumlah sampel darah sedikit. Selain itu pemeriksaan ini bisa digunakan dilapangan dengan menggunakan mikrosentrifus bertenaga batrei. Rata-rata, secara kasar, nilai hemaktokrit adalah ekuivalen dengan 3 kali nilai Hb.
Perlu diingat bahwa sebelum menjadi anemia, penderita biasanya mengalami kekurangan zat besi dulu. Setelah menderita kekurangan zat besi dalam jangka waktu tertentu, barulah timbul anemia dan bisa terdeteksi oleh pemeriksaan tersebut di atas. Maka dikembangkan pemeriksaan-pemeriksaan khusus yang dapat mendeteksi kelainan pada tahap lebih dini lagi, yakni pada fase kekurangan zat besi. Tes-tes itu antara lain adalah tes serum feritin, saturasi transferin, protoporfirin dalam eritrosit. Pemeriksaan pada fase kekurangan zat besi ini, sangat cocok untuk memonitor status zat besi pada populasi (DeMaeyer, 1989).

DAFTAR PUSTAKA
Beaglehole R, dkk, 1997, Dasar-Dasar Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
DeMaeyer. E.M, 1989, Preventing and Controlling Iron Deficiency Anaemia Through Primary Health Care, A Guide for Health Administrators and Programme Managers, WHO, Geneva.
Sutrisno B, 1994, Pengantar Metoda Epidemiologi (Epidemiologi Lanjut), Volume I, Dian Rakyat, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar