Laman

Minggu, 30 Januari 2011

Anemia pada Kehamilan



A.   Epidemiologi
Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12.
Di Indonesia anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan zat besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah  Anemia Gizi Besi.  Anemia defisiensi zat besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan.  Ibu hamil umumnya mengalami defisiensi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal.  Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar Hb ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl pada trimester III.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak.  Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin  didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, berat badan lahir rendah (BBLR), anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi.  Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar (Zulhaida L, 2003)
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan dan masa penyembuhan dari penyakit (http://www.bppsdmk.depkes.go.id). 
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Sedangkan menurut SKRT (1995) angka anemia ibu hamil yaitu 51,8% pada trimester I, 58,2% pada trimester II dan 49,4% pada trimester III. Adapun penyebab tidak langsung kesakitan dan kematian ibu adalah kejadian anemia pada ibu hamil sekitar 51% dan pada ibu nifas 45% serta karena Kurang Energi Protein (KEP) (http://www.bppsdmk.depkes.go.id). 
 Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai adalah anemia gizi besi, hal ini disebabkan kurangnya asupan zat besi dalam makanan karena gangguan resorpsi, gangguan penggunaan atau perdarahan frekuensi anemia dalam kehamilan di dunia cukup tinggi berkisar antara 10% dan 20%. Anemia pada kehamilan atau kekurangan kadar hemoglobin dalam darah dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius bagi ibu baik dalam kehamilan, persalinan dan nifas yaitu dapat mengakibatkan abortus, partus prematurus, partus lama karena inertia utein, perdarahan post partum karena atonia uteri, syok, infeksi intra partum maupun post partum. Anemia berat dengan Hb kurang dari 4 gr/dl dapat mengakibatkan dekompensatio cordis (http://library.usu.ac.id). 
Wintobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Hal ini ditegaskan kembali oleh penelitian Ridwan Amirudin (2004) bahwa ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih beresiko menderita anemia dari pada ibu hamil 20-35 tahun.  
Etiologi dari anemia defisiensi besi pada masa kehamilan, yaitu :
a.    Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b.    Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c.    Kurangnya zat besi dalam makanan.
d.    Kebutuhan zat besi meningkat.
e.    Gangguan pencernaan dan absorbsi.
B.   Perjalanan Alamiah Anemia pada Kehamilan.
Pada wanita hamil kebutuhan akan zat gizi akan semakin meningkat, terjadi perubahan dalam darah dan sumsum tulang belakang.  Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.
Volume sel darah merah total dan massa hemoglobin meningkat sekitar 20-30 %, dimulai pada bulan ke 6 dan mencapai puncak pada aterem, kembali normal 6 bulan setelah partus. Stimulasi peningkatan 300-350 ml massa sel merah ini dapat disebabkan oleh hubungan antara hormon maternal dan peningkatan eritropoitin selama kehamilan. Peningkatan massa sel darah merah tidak cukup memadai untuk mengimbangi peningkatan volume plasma yang sangat menyolok. Peningkatan volume plasma menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi, yang menyebabkan terjadinya penurunan hematokrit (20-30%), sehingga hemoglobin dari hematokrit lebih rendah secara nyata dari pada keadaan tidak hamil. Hemoglobin dari hematokrit mulai menurun pada bulan ke 3 -5 kehamilan, dan mencapai nilai terendah pada bulan ke 5-8 dan selanjutnya sedikit meningkat pada aterem serta kembali normal pada 6 minggu setelah partus. Besi serum menurun namun tetap berada dalam batas normal selama kehamilan, TIBC meningkat 15 % pada wanita hamil (http://library.usu.ac.id).
Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram, sekitar 60-70 % berada dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah besi cadangan yang terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800-1000 mg untuk mencukupi kebutuhan yang terdiri dari :
a.    Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan.
b.    Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
c.    Pertumbuhan Plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg.
d.    Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan  untuk laktasi,dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan mudah bisa mengalami kekurangan besi, dimana janin bisa mengakumulasi besi bahkan dari ibu yang kekurangan besi. Kebutuhan besi yang meningkat tersebut tidak terpenuhi oleh kebiasaan diet normal, walaupun ada penyerapan besi yang meningkat selama kehamilan yaitu 1,3-2,6 mg perhari. Setiap wanita hamil membutuhkan sampai 2 tahun makan normal untuk mengisi kembali cadangan besi yang telah hilang selama hamil (Tan A, 1996 & http://library.usu.ac.id).
Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan besi adalah deplesi cadangan zat besi pada hati, empedu dan sumsum tulang, diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga anemia berkembang. Sel darah merah secara klasik digambarkan sebagai hipokromikmikrositer, tetapi perubahan morfologi karakteristik ini tidak terjadi sampai nitro hematokrit jatuh dibawah nilai normal. Mikrositik mendahului hipokromik, dan angka retikulosit rendah pada anemia defisiensi besi (http://library.usu.ac.id).
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan keseimbangan zat besi yang negatif, Jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama -tama keseimbangan yang negatip ini oleh tubuh diusahakan untuk mengatasinya dengan cara mengunakan cadangan besi dalarn jaringan depot. Pada saat cadangan besi itu habis baru anemia defisiensi besi menjadi manifes. Perjalanan keadaan kekurangan zat besi mulai dari terjadinya anemia sampai dengan timbulnya gejala-gejala yang klasik melalui beberapa tahapan yaitu :
a.    Cadangan besi habis diikuti oleh serum feritin menurun tapi belum ada  anemia.
b.    Serum transferin meningkat.
c.    Besi serum menurun.
d.    Perkembangan normositik, diikuti oleh anemia normokromik.
e.    Perkembangan mikrositik dan anemia hipokromik
Manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa (http://ridwanamirudin.wordpress.com). Sedangkan menurut Saifuddin (2002) gejala dan tanda anemia pada kehamilan adalah dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan sementara tensi masih dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Secara kilinik dapat dilihat tubuh yang kurang gizi (malnutrisi) dan pucat. Namun pada pemeriksaan darah umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO (1972) yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8 - <11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl).
Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah (http://www.bppsdmk.depkes.go.id).   
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infek­si dan stress kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian peri­natal dll) (http://www.depkes.go.id).


DAFTAR PUSTAKA
http://www.bppsdmk.depkes.go.id,  Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil, Akses tanggal 15 Mei 2008.
http://ridwanamirudin.wordpress.com, Evidence Base Epidemiologi Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia, Akses tanggal 16 Mei 2008.
 http://library.usu.ac.id., Anemia Defisiensi Besi pada Wanita Hamil di Beberapa Praktek Bidan Swasta dalam Kota Madya Medan, Akses tanggal 1 Mei 2008.
http://www.depkes.go.id , Satu dari Dua Orang Indonesia Menderita Anemia, Akses tanggal 17 Mei 2008.
Saifuddin Abdul Bari, dkk, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Bina Pustaka, Jakarta.
Tan, Antony, 1996, Health Media Nutrition Series : Women and Nutrition (Wanita dan Nutrisi), Bumi Aksara, Jakarta.
Wintrobe MM,1987, Iron deficiency and Iron deficiency anemia - Clinical Hemotology, Philadelphia
Zulhaida L, 2003, Status Gizi Ibu Hamil serta Pengaruhnya Terhadap Bayi yang Dilahirkan, Laporan Penelitian, IPB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar