Laman

Minggu, 30 Januari 2011

Surveilans Malaria.

1.     Sistem surveilans malaria
Surveilans malaria adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/ instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi malaria dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Dalam sistem surveilans malaria mencakup hal-hal pokok sebagai berikut (Depkes RI, 2007) :
a.   Pengumpulan data melalui kegiatan penemuan kasus.
Penemuan penderita malaria dilakukan dengan :
1)    Cara pasif (Passive Case Detection) yaitu penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke UPK
2)    Survei malariometrik,  yang terdiri dari :
·         Survei malariometrik dasar, yaitu mengukur tingkat endemisitas dan prevalensi di wilayah epidemiologis yang belum tercakup oleh kegiatan pemberantasan vektor. Waktu pengambilan darah pada saat puncak tertinggi fluktuasi malaria klinis atau data entomologi setempat dan dilaksanakan 1 kali saja.
·         Survei malariometrik evaluasi, yaitu mengukur dampak kegiatan pemberantasan vektor khususnya penyemprotan rumah di daerah prioritas. Waktu pengambilan darah pada saat puncak tertinggi fluktuasi malaria klinis atau data entomologi setempat.
  1. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah diterima kemudian diolah dan dianalisa selanjutnya disajikan dalam bentuk teks, tabel, grafik dan atau spot map. Pengolahan dan analisa dilakukan di tingkat Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas Kesehatan Propinsi dan Departemen Kesehatan Pusat.
  1. Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi
1)    Puskesmas mengirim umpan balik ke Puskesmas Pembantu yang ada di wilayahnya.
2)    Dinas Kesehatan Kabupaten mengirim umpan balik kepada seluruh Puskesmas
3)    Dinas Kesehatan Propinsi mengirim umpan balik ke Dinas Kesehatan Kabupaten
4)    Departemen Kesehatan RI mengirim umpan balik ke semua Propinsi
Sedangkan penyebarluasan informasi melalui laporan triwulan, tahunan, profil kesehatan, dan Laporan akuntabilitas instansi pemerintah (LAKIP) yang diinformasikan kepada lintas sektor dan program terkait, para penentu keputusan dan kebijakan serta masyarakat yang membutuhkan.

2.     Evaluasi Surveilans Malaria
Evaluasi atau penilaian merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus menerus terhadap masukan (input), proses keluaran (output) dan dampak (outcome) (Depkes RI, 2003)
Evaluasi surveilans malaria yang dilaksanakan yaitu :
a.    Terhadap masukan meliputi tenaga, biaya bahan dan peralatan.
b.    Terhadap keluaran yaitu pada penemuan penderita untuk daerah di luar Jawa dan Bali sedapat mungkin dipisahkan hasil dari PCD yang dilaksanakan di daerah prioritas dan nonprioritas, hal ini diperlukan untuk mengadakan evaluasi atau penilaian yang lebih obyektif karena perbedaan jenis kegiatan di kedua daerah tersebut.
c.     Terhadap dampak yang terdiri dari :
1)  Angka kesakitan per 1.000 penduduk
Penurunan angka ini selalu dikaitkan dengan proporsi cakupan pengambilan sediaan darah (SD), bila penurunan angka kesakitan disertai proporsi SD menurun maka penurunan angka kesakitan perlu dipertanyakan.
2)     SPR (Slide Positive Rate)
Tinggi rendahnya SPR menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan diagnosa klinis dari pemeriksaan pasien. Persyaratan disini diperlukan seorang mikroskopis yang berkualitas dengan error ratecukup rendah (<5%).
3)     PR (Positive Rate)
Digunakan untuk mengukur dampak penyemprotan/ pemberantasan vektor yang diperoleh dari survei malariometrik yang dikerjakan satu tahun sekali.
4)     SR (Spleen Rate) dan AES (Average Enlarged Spleen)
Kedua indikator ini diperoleh dari survey malariometrik. Adanya pembesaran limpa pada golongan umur tertentu penduduk menunjukkan bahwa malaria sudah cukup lama ada di daerah tersebut.
5)     PF (Parasit Formula)
Suatu program pemberantasan malaria di suatu daerah  akan menurunkan plasmodium falciparum karena gametosit plasmodium falciparum timbulnya lebih lambat dari pada gametosit spesies lainnya.
  1. Alur Pelaporan
Pelaporan kasus malaria dilaksanakan berjenjang mulai dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) melaporkan  ke Dinas Kesehatan Kabupaten, dari Dinas Kesehatan Kabupaten ke Dinas Kesehatan Propinsi dan pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Departemen Kesehatan RI (Subdit Arbovirosis, Ditjen P2M dan PL ), pelaporan ini mencakup laporan rutin, laporan pada situasi KLB dan umpan balik laporan.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I., 2003, Modul Manajemen Program Pemberantasan Malaria,  Jakarta.
Departemen Kesehatan R.I., 2007, Pedoman Surveilans Malaria,  Jakarta.


Skrining Anemia


1.    Pengertian Skrining
Skrining adalah suatu upaya dalam penemuan penyakit secara aktif pada individu-individu yang tanpa gejala dan nampak sehat dengan cara menguji, memeriksa atau prosedur lain yang dapat dilakukan dengan cepat.  Skrining  bukan suatu penetapan diagnosis, subyek-subyek yang diketemukan positif atau kemungkinan mengidap suatu penyakit tertentu, perlu dirujuk kembali untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Sutrisno, 1994).
Skrining dilaksanakan untuk mengetahui besarnya kejadian penyakit tertentu di masyarakat.  Skrining dapat dikelompokkan menjadi 4 macam (Beaglehole,dkk, 1997), yaitu :
a.   Mass Screening atau penjaringan massal yaitu skrining yang dilakukan pada seluruh anggota populasi.
a.    Multiple screening atau penjaringan multiphasik yaitu skrining ganda yang dilakukan dengan melibatkan berbagai alat uji pada saat yang bersamaan.
b.    Prescritive Screening yaitu skrining yang dilakukan terbats pada para penderita yang berkonsultasi kepada seorang praktis kesehatan untuk beberapa tujuan tertentu.
c.    Oportunistik Screening yaitu skrining yang dilakukan terbatas pada para penderita yang berkonsultasi kepada seorang praktisi kesehatan untuk beberapa tujuan
2.    Kriteria Skrining
Dalam kegiatan skrining , 10 ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
a.    Penyakit atau keadaan yang dicari haruslah merupakan masalah kesehatan yang penting.
b.    Tersedia obat yang potensial dan disepakati untuk pengobatan.
c.    Tersedia fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti dan pengobatan.
d.    Penyakit atau keadaan yang dideteksi harus mempunyai masa laten atau masa asymtomatik dini.
e.    Tersedia alat skrining yang sesuai.
f.     Uji skrining yang tersedia harus dapat diterima oleh populasi sasaran.
g.    Perjalanan alamiah penyakit atau keadaan yang akan dideteksi benar-benar harus sudah diketahui.
h.    Harus ada kebijakan yang disepakati tentang siapa dari mereka yang diobati sebagai penderita.
i.      Biaya yang digunakan untuk skrining secara ekonomis harus seimbang dengan risiko untuk perawatan medis secara keseluruhan.
j.      Harus dimungkinkan untuk diadakan follow-up dan kemungkinan untuk pencarian penemuan penderita secara berkesinambungan.
3.    Test Skrining
Sebelum suatu cara uji skrining direkomendasikan sebagai alat skrining/penapisan untuk membantu menjaring penderita, maka alat uji ini sebaiknya melalui suatu test validitas dan realibilitas terlebih dahulu.  Setelah diketahui kemampuannya membedakan antar yang sakit dengan yang sehat, barulah cara penapisan ini dapat dipertimbangkan.  Cara yang paling umum dipergunakan dengan menggunakan tabel 2 x 2, dibandingkan dengan diagnosa standar (gold standard).  Tabel 2 x 2 yang akan digunakan untuk uji ini sebagai berikut :          
Tabel 2 x 2 Uji Validitas

Gold Standar
Gejala Klinis
Positif
Negatif
Total
Positif
A
b
a + b
Negatif
C
d
c + d
Total
a + c
b + d
a + b + c + d

Uji validitas yang akan dilakukan :
a.    Sensitivitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil positif apabila suatu  cara uji dilakukan terhadap penderita yang berpenyakit     = a / (a + c) x 100%.
a.    Spesifitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil negatif apabila cara uji  tersebut dilakukan orang yang tidak sakit = d / (b + d) x 100%.
b.    Nilai Duga Positif (positive predictive value) yaitu kemampuan mendeteksi yang benar-benar menderita suatu penyakit dari semua hasil uji skrining positif = a / (a + b) x 100%.
c.    Nilai Duga Negatif (negative predictive value) yaitu kemampuan untuk mendeteksi yang benar-benar tidak sakit dari semua hasil skrining yang negatif = d / (c+d) x 100%.
Uji Reliabilitas yang akan dilakukan
a.    Percent Observed Agreement yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan yang dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati = {(a + b) / total test} x 100%.
b. Percent Agreement Expexted yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan yang dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati
 =  { %D ( + ) x Total Test ( + ) } +  { %D ( - ) x Total Test ( - ) }
                                                                        100

4.    Tes untuk skrining anemia

Secara klinis, anemia bisa didiagnosis dengan mudah bila derajat anemianya sudah berat. Untuk mendeteksi secara dini anemia, saat derajat anemianya masih ringan, diagnosis klinis akan menjadi kurang reliable karena biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya kulit yang tebal atau pigmentasi. Untuk itu, perlu pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar Hb atau Hematokrit. Pemeriksaan ini berguna selain untuk konfirmasi diagnosis, juga dapat menentukan derajat berat-ringannya anemia. Pemeriksaan kadar Hb atau Hematokrit bisa digunakan untuk skrining anemia pada kelompok berisiko tinggi menderita anemia, seperti ibu hamil dan anak-anak; juga bermanfaat untuk menentukan prevalensi dan beban masalah anemia pada populasi.
Tes yang dapat dipercaya untuk mengukur kadar Hemoglobin adalah tes-tes yang dapat  mengkonversi Hb menjadi salah satu dari komponennya. Kadar komponen itu yang kemudian ditentukan dengan mencocokkan warna standar dalam fotometer atau dengan mengukur absorbsi komponen-komponen itu dalam spektrofotometer. Tiga teknik yang biasa dipakai adalah dengan cara mengukur komponen cyanmethemoglobin (Hb CN), oxyhemoglobin (HbO2) dan metode alkalin hematin. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan PRC/Hematokrit (Packed Red Cell). Keuntungan cara ini adalah tekniknya lebih sederhana utamanya jika jumlah sampel darah sedikit. Selain itu pemeriksaan ini bisa digunakan dilapangan dengan menggunakan mikrosentrifus bertenaga batrei. Rata-rata, secara kasar, nilai hemaktokrit adalah ekuivalen dengan 3 kali nilai Hb.
Perlu diingat bahwa sebelum menjadi anemia, penderita biasanya mengalami kekurangan zat besi dulu. Setelah menderita kekurangan zat besi dalam jangka waktu tertentu, barulah timbul anemia dan bisa terdeteksi oleh pemeriksaan tersebut di atas. Maka dikembangkan pemeriksaan-pemeriksaan khusus yang dapat mendeteksi kelainan pada tahap lebih dini lagi, yakni pada fase kekurangan zat besi. Tes-tes itu antara lain adalah tes serum feritin, saturasi transferin, protoporfirin dalam eritrosit. Pemeriksaan pada fase kekurangan zat besi ini, sangat cocok untuk memonitor status zat besi pada populasi (DeMaeyer, 1989).

DAFTAR PUSTAKA
Beaglehole R, dkk, 1997, Dasar-Dasar Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
DeMaeyer. E.M, 1989, Preventing and Controlling Iron Deficiency Anaemia Through Primary Health Care, A Guide for Health Administrators and Programme Managers, WHO, Geneva.
Sutrisno B, 1994, Pengantar Metoda Epidemiologi (Epidemiologi Lanjut), Volume I, Dian Rakyat, Jakarta